Diplomasi Indonesia Pasca-Siti Aisyah

Konten [Tampil]
Diplomasi Indonesia Pasca-Siti AisyahIlustrasi: Luthfy Syahban/detikcom

Jakarta -Setelah melalui proses yang cukup panjang (2 tahun 23 hari), pemerintah Indonesia hasilnya berhasil membebaskan Siti Aisyah, tersangka masalah pembunuhan Kim Jong Nam (adik seayah pemimpin Korut Kim Jong Un), dari bahaya sanksi mati di Malaysia

Pengadilan Tinggi Selangor, Malaysia, Senin (11/3) kemudian memutuskan membebaskan Siti lantaran jaksa menilai tidak punya cukup bukti untuk menjerat wanita 29 tahun itu.

Dalam konteks ini, kita patut bersyukur dan apresiatif atas tugas pemerintahan Jokowi membebaskan Siti. Meski begitu, kita juga tak boleh lupa bahwa Indonesia masih mempunyai pekerjaan diplomasi lainnya, mengingat masih ada kasus-kasus Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya yang terancam terkena sanksi mati di negara lain, sebut saja di Arab Saudi.

Untuk itu, yang penting kini yakni bagaimana kesuksesan diplomasi Indonesia dalam membebaskan Siti juga sanggup dilakukan untuk WNI lainnya yang terancam sanksi mati di Saudi, yang kebanyakan dari mereka yakni Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Tulisan ini ingin menggarisbawahi masalah TKI di Saudi sebagai tantangan diplomasi Indonesia ke depan dan menyoroti diplomasi menyerupai apakah yang mesti dilakukan Indonesia biar masalah yang menimpa TKI di Saudi sanggup dibebaskan atau minimal terbebas dari sanksi mati.

Kasus TKI

Kita tentu boleh larut dalam euforia terkait keberhasilan diplomasi Indonesia dalam membebaskan Siti. Namun, Malaysia berbeda dengan Saudi. Di Malaysia, pemerintah Indonesia lebih gampang menerima ruang untuk memberikan pendampingan atas WNI yang terkena masalah aturan serius. Sementara untuk masalah TKI di Saudi, persoalannya tidak sesederhana itu.

Dalam masalah yang menimpa pekerja migran di Saudi asal Majalengka Tuti Tursilawati, misalnya, pemerintah Indonesia kesulitan melaksanakan pendampingan hukum. Tuti yakni terpidana masalah pembunuhan berencana terhadap majikannya pada 2010 dan divonis mati oleh pengadilan Saudi pada Juni 2011.

Setelah melalui proses aturan selama tujuh tahun, kerajaan Saudi melaksanakan sanksi mati terhadap Tuti di kota Ta'if pada 29 Oktober 2018, tanpa notifikasi (pemberitahuan resmi) kepada perwakilan pemerintah Indonesia, baik KBRI di Riyadh atau KJRI di Jeddah. Sebelumnya Zaini Misrin (TKI asal Madura) juga dihukum pada Maret 2018, pun tanpa notifikasi.

Menurut Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal, Saudi memang tidak mempunyai ketentuan aturan yang mewajibkan pihak berwenang memberikan notifikasi kepada perwakilan pemerintah sebelum melaksanakan sanksi terhadap warga negara asing. Ketentuan itu tidak hanya berlaku bagi WNI saja, melainkan juga terhadap warga negara lain yang mendapatkan vonis sanksi mati di Saudi.

Bahkan, dalam konteks sanksi mati yang dilakukan terhadap warga negaranya sendiri, Kerajaan Saudi tidak wajib memberitahu pihak keluarga terpidana mati. Hanya ada empat pihak yang mendapatkan notifikasi sebelum sanksi dilakukan, yakni hebat waris korban, jaksa penuntut umum, kepala penjara, dan forum permaafan.

Itulah sebab, mengapa pemerintah Indonesia kesulitan memberikan pendampingan aturan bagi TKI yang terkena masalah aturan serius di Saudi. Padahal semua masalah yang menimpa TKI terpidana mati itu yakni lantaran adanya upaya untuk membela diri dari kekerasan dan dari percobaan perkosaan oleh majikan atau orang lain. Namun tertutupnya proses peradilan di Saudi menyulitkan TKI mendapatkan sidang yang adil (Wahyu Susilo, 2018).

Celakanya, data Migrant CARE menyebutkan bahwa ketika ini terdapat 19 TKI di Saudi yang masuk dalam daftar sanksi mati berikutnya. Hal itu akan menjadi tantangan berat bagi diplomasi Indonesia.

Diplomasi Indonesia

Sebetulnya sudah ada langkah diplomasi yang ditempuh pemerintah Indonesia terkait masalah TKI. Tak usang sehabis sanksi mati dilakukan terhadap Tuti, pemerintah Indonesia memberikan protes kepada kerajaan Saudi.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno Marsudi telah memanggil duta besar Saudi di Jakarta (30/10/2018) untuk memberikan "protes secara langsung" dan juga memberikan "keprihatinan mendalam" lantaran sanksi dilaksanakan tanpa "notifikasi" kepada pemerintah Indonesia. Oleh lantaran itu, Menlu Retno secara resmi meminta biar negara kerajaan itu mempertimbangkan perjanjian Mandatory Consuler Notification (MCN), atau memberitahu bila terjadi eksekusi. Dengan perjanjian itu, Indonesia sanggup mempunyai kesempatan untuk melaksanakan perundingan kepada Saudi jikalau ada TKI yang akan dihukum mati.

Indonesia memang mempunyai perjanjian serupa dengan sejumlah negara namun tidak dengan Saudi. Padahal negara kerajaan ini yang paling sering melaksanakan sanksi mati terhadap TKI.

Hemat saya langkah diplomasi Indonesia dengan proposal perjanjian MCN sudah sangat tepat. Namun, itu saja belumlah cukup. Jika menginginkan Saudi menandatangani perjanjian itu, Indonesia memerlukan pendekatan diplomasi yang holistik. Sir Harold Nicholson (1939), hebat sejarah dan mantan diplomat Inggris, menyebutnya sebagai "shopkeeper approach" (pendekatan pengusaha) dalam diplomasi.

Pendekatan diplomasi itu didasarkan pada teori bahwa kompromi/negosiasi secara terus-menerus yakni lebih baik daripada cara lain apapun. Pendekatan ini merupakan teknik yang dipakai untuk membuat kesepakatan/saling pengertian dan dilakukan dengan cara yang nrimo dan jujur. Jika terjadi perselisihan cara ini dinilai sanggup mencari jalan tengahnya.

Nicholson mencatat bahwa dari sekian banyak diplomat Inggris dan Amerika yang memperlihatkan saran wacana sifat dan perilaku yang paling memungkinkan keberhasilan dalam perundingan diplomatik, sebagian besar menekankan pada "shopkeeper approach" --kemauan untuk kompromi, hasrat akan keadilan, ketulusan niat baik, hasrat bekerja sama, dan dilakukan secara persisten.

Presiden Jokowi tanpa disadari bekerjsama telah melaksanakan "shopkeeper approach" terhadap Saudi di sektor ekonomi. Setelah sempat kecewa dengan investasi Saudi ke Indonesia yang jumlahnya jauh lebih kecil ketimbang investasi Saudi ke Tiongkok, tetapi dengan hasrat kolaborasi yang nrimo dan kemauan kompromi/negosiasi yang persisten, Jokowi berhasil membujuk salah satu pangeran Saudi melalui susukan telepon. Lambat laun nilai perdagangan dan investasi Saudi ke Indonesia pun meningkat tajam.

Duta Besar Saudi untuk Indonesia yang terdahulu Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi memberikan bahwa sehabis kunjungan Raja Salman ke Indonesia pada Maret 2017 lalu, volume perdagangan meningkat dari US$ 3,5 miliar menjadi US$ 40 miliar hingga dengan November 2018. Saudi bahkan mempunyai kolaborasi three parties dengan Indonesia dan Amerika Serikat di bidang pengembangan pariwisata di Lombok yang nilainya mencapai US$ 1 miliar.

Itu artinya Indonesia dinilai Saudi mempunyai nilai ekonomi yang strategis --nilai yang mestinya sanggup dijadikan sebagai "shopkeeper approach" dalam diplomasi Indonesia untuk masalah TKI di Saudi. Bukan mustahil dengan mengakibatkan nilai ekonomi itu sebagai posisi tawar, pemerintahan Indonesia mendatang (Jokowi atau Prabowo) sanggup membujuk kerajaan Saudi untuk menandatangani perjanjian MCN dan mencegah 19 TKI dihukum mati. Semoga!

Asrudin Azwar pengamat politik dan hubungan internasional The Asrudian Center

Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Belum ada Komentar untuk "Diplomasi Indonesia Pasca-Siti Aisyah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel