Fast Fashion, Budaya Konsumtif, Dan Kerusakan Lingkungan

Konten [Tampil]
Fast Fashion, Budaya Konsumtif, dan Kerusakan LingkunganMembeli baju bekas berkontribusi pada pencegahan kerusakan lingkungan (Foto: Grandyos Zafna)

Jakarta -
Mulai hari pertama di bulan September sampai 26 hari ke depan setelahnya Oxfam Great Britain (GB) mengadakan kampanye #SecondHandSeptember di media umum Instagram dan Twitter. Mangangkat tagline "saying no to new", organisasi nirlaba ini mengajak warga dunia untuk hanya membeli pakaian bekas, vintage, thrift, atau hasil daur ulang untuk mengurangi konsumsi fesyen yang memberi kasus terhadap keberlangsungan lingkungan dan penghuninya. Setiap ahad akan diundi satu orang pemenang beruntung yang mengikuti kampanye ini dengan cara mengunggah foto pakaian "saying no to new" kesukaannya.

Pemilihan warta dalam kampanye itu memang penting dan sudah seharusnya menjadi perhatian oleh masyarakat yang peduli terhadap lingkungan. Namun yang tidak kalah krusial yaitu bagaimana semua orang sanggup melihat kekerabatan aspek ekologi dan ekonomi politik yang terjadi di belakang industri fesyen khususnya fast fashion sebagai penyumbang kerusakan lingkungan yang utama di sektor industri tersebut.

Dalam duduk kasus lingkungan yang menjadi pengaruh ikutan dari faktor di luar sistem --kapitalisme industri fast fashion-- munculnya kerusakan tidak tiba secara tiba-tiba. Semuanya terjadi secara terstruktur dan terkesan alami sehingga rantai eksploitasi terhadap alam terus berlanjut tanpa disadari oleh sebagian besar konsumen dari industri fesyen yang utamanya dari negara berkembang. Meminjam istilah Andre Gunder Frank, semua dimungkinkan dengan adanya konstelasi sistem kapitalis dunia yang tercipta dalam kekerabatan negara satelit dan metropolis, meskipun konteks masyarakatnya bukan lagi tinggal di masa kolonialisme.

Negara bermetamorfosis alat pengisap kapital atau surplus ekonomi dari dalam negaranya sendiri menuju jalan masuk yang bermuara di dunia metropolis melalui konstruksi sub pemerintahan kolonial yang digantikan sedemikian rupa dengan pabrik garmen lokal sebagai kawasan produksi, penyedia materi produksi, dan tenaga kerja murah. Bahkan juga menjadi kawasan pemasaran produksi pakaian tersebut.

Berdasarkan data Fastretailing, Statista, dan Inditex antara tahun 2015-2016 jumlah toko retailer fast fashion besar --rata-rata berasal dari Eropa dan Amerika-- ibarat kelompok merek Inditex, H&M, dan Uniqlo yang tersebar di seluruh dunia mencapai ribuan gerai. Uniqlo bahkan berencana membuka 100 toko setiap tahunnya di China.

Orientasi kapitalis yaitu perolehan keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga mereka memasarkan produk dengan sedemikian rupa biar konsumen terbuai dalam budaya konsumtif. Secara eksplisit, karakteristik kapitalis tersebut bahwasanya telah menempel pada konsep fast fashion sendiri. Mengutip Terry Muthahari (2018), istilah fast fashion dipakai untuk mendeskripsikan koleksi busana murah mengikuti tren merek-merek mentereng yang diproduksi dalam waktu cepat. Artinya, kapitalisme membujuk konsumen untuk melaksanakan pembelian terus-menerus alasannya tren fesyen modelnya selalu up to date, jauh lebih cepat dari peluncuran produk musiman.

Belum lagi harga yang murah kemudian mendukung iklim konsumerisme yang dikehendaki oleh pelaku industri tersebut. Hasilnya, terjadi peningkatan jumlah konsumsi rata-rata busana sebanyak 60% setiap tahunnya (McKinsey, 2016). Kombinasi sikap kapitalis di industri fast fashion dan budaya konsumtif yang dibawanya pada masyarakat berakibat terhadap polusi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

Di sisi produksi, biar sanggup memproduksi pakaian-pakaian lebih cepat, banyak, dan harganya murah kapitalis industri fast fashion berupaya menekan sekecil mungkin biaya produksi. Selain mencuri nilai lebih dari upah yang seharusnya diterima oleh para pekerja, kapitalis ini mengalihkan biaya penanganan limbah tekstil dan residu pembakaran materi bakar kerikil bara yang beracun kepada lingkungan. Greenpeace pada 2017 menyatakan bahwa limbah tersebut tidak sanggup dianggap remeh terhadap pencemaran lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat di negara-negara berkembang.

Demam produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia yang berlebihan bahkan menciptakan permasalahan lingkungan lainnya: kelebihan produksi yang berakibat pembakaran stok pakaian tidak terjual ibarat oleh retailer H&M pada 2017 (sekitar 19 ton atau setara 50.000 jeans) dan stok Burberry pada 2018 (senilai 38 juta dolar AS).

Budaya konsumtif yang menjangkiti konsumen fast fashion juga menyebabkan sampah over-konsumsi. Pada suatu kesempatan, Elizabeth Cline, penulis buku Overdressed: The Shockingly High Cost of Cheap Fashion menyampaikan bahwa pakaian murah sering kali berakhir di kawasan sampah. Keterjangkauan harga dan cepatnya produksi model busana terbaru menciptakan pergeseran nilai guna dari pakaian menjadi menomorsatukan nilai tanda sebagai bentuk identitas sosial. Oleh alasannya itu, saat bosan (padahal terhitung tidak usang menggunakannya) konsumen tidak merasa sayang membuang isi lemarinya untuk diisi dengan koleksi terbaru yang dikeluarkan oleh retailer fast fashion.

Selama ada seruan untuk fast fashion dari sisi konsumen, maka rantai kerusakan lingkungan oleh industri fesyen akan terus berlanjut. Apalagi dalam konteks masyarakat yang terintegrasi dengan sistem kapitalistik global, budaya konsumtif telah mengaburkan kesadaran kita untuk mengaitkan sikap konsumtif khususnya dalam hal konsumsi pakaian dengan tunjangan contoh produksi pakaian cepat, banyak, murah dan sekali pakai terhadap keberlanjutan kelestarian lingkungan.

Penyelesaian duduk kasus lingkungan bukan lagi hanya perihal mengatur sikap individu per individu dalam berinteraksi dengan lingkungan, melainkan perlu memutus campur tangan sistemik dari kerja kapitalisme modern yang turut memilih dan membentuk sikap individu yang bersifat destruktif terhadap lingkungan untuk menguntungkan segelintir orang saja. Konsumen harus lebih kritis dan selektif lagi biar tidak membeli pakaian-pakaian gres tanpa pertimbangan utilitas dan memperhatikan janji merek yang memproduksi pakaian kesukaannya terhadap biaya sosial dan penanganan limbah hasil sampingan dari proses produksi.


Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Belum ada Komentar untuk "Fast Fashion, Budaya Konsumtif, Dan Kerusakan Lingkungan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel