Siswa, Pedagogi, Dan Climate Strike

Konten [Tampil]
Siswa, Pedagogi, dan Climate StrikeRemaja Swedia penggagas iklim Greta Thunberg di New York (Foto: DW News)

Jakarta -

Pada 20 September kemudian digelar kampanye terkait perubahan iklim secara serempak di Eropa dan beberapa negara lainnya, termasuk di Indonesia. Kampanye ini dimaksudkan untuk meminta keadilan atas krisis iklim yang menimpa bumi dan penghuninya terkait dengan perubahan iklim yang ekstrem. Temperatur suhu yang tinggi, bisa dibilang terpanas sepanjang masa, lapisan atmosfer menipis, naiknya permukaan bahari dari tahun ke tahun, hewan-hewan yang terancam dan sudah punah, krisis air dan polusi udara yang tinggi. Semua itu akhir perlakuan terhadap alam yang sangat eksploitatif. Dengan tagline "Global Climate Strike", kampanye atas isu ini bisa mempertemukan banyak kelompok masyarakat yang peduli atas nasib kawasan tinggalnya.

Global Climate Strike berawal dari kepanikan anak berusia 16 tahun berjulukan Greta Thunberg terhadap masa depan kehidupannya di bumi, mengingat gelombang panas dan kebakaran andal di Swedia pada 2018. Hampir setiap Jumat ia menyempatkan diri pergi ke gedung dewan legislatif Swedia dengan sepeda bertuliskan "mogok sekolah untuk iklim". Aksinya tersebut menerima perhatian banyak orang dari seluruh dunia. Greta menginspirasi siswa-siswa sekolah lainnya di seluruh dunia untuk mengambil bab pada pemogokan sekolah setiap Jumat. Hingga kini tercatat sudah lebih dari 4 juta orang di dunia ikut berpartisipasi dalam pemogokan ini.

Apa yang dilakukan oleh Greta, tiba ke gedung dewan legislatif Swedia, yaitu sebuah inisiatif mencari tahu di luar sekolah. Sekolah tidak pernah sekalipun menyentuh banyak duduk kasus yang terjadi di sekelilingnya. Di luar pagar sekolah ia justru menemukan potongan-potongan balasan atas apa yang ia tanyakan dan kemudian meyakini "mogok sekolah" sebagai salah satu bentuk perlawanan atas ketidakadilan ini --skolstrejkförklimatet (mogok sekolah untuk iklim).

Climate Strike dan Tugas Siswa

Selama ini sampai memasuki era industralisasi 4.0 kita hidup dengan meninggalkan pakem-pakem usang yang arif dan bijaksana terhadap alam. Keintiman kita dengan tanah, air, dan udara cenderung bersifat eksploitatif serta menempatkannya sebagai objek pemenuhan kebutuhan belaka. Seperti yang diungkap Ann Pole, kita hidup dalam tradisi atau budaya yang menolak pentingnya identitas ekologis, yang sesungguhnya telah membentuk identitas personal kita.

Greta, juga barisan kelompok siswa yang mencuri perhatian publik, dengan sangat antusias dan penuh kesadaran bergabung dengan aliansi untuk meminta sistem, industri dan ketamakan modal berhenti mengeksploitasi bumi untuk urusan keuntungan. Mereka menyerupai sedang berteriak wacana jaminan masa depannya, hidupnya, dan lingkungannya supaya tetap terjaga dan sanggup dinikmati. Tidak menyerupai sekarang.

Greta Thunberg, juga para siswa lainnya bisa dianggap sedang merepresentasikan kesadaran politiknya. "There is NO Planet B", "Change the System", "It's getting HOT on here" dan "Capitalism is Killing our Planet" yaitu pola teks-teks tuntutan dan kampanye mereka di ruang publik terhadap para perusak lingkungan. Keterlibatan dan kesadaran mereka terhadap situasi yaitu hal yang menarik untuk dibaca, menyerupai apa guru-guru mereka memperlihatkan pemahaman ini semua, dan bagaimana kurikulum mereka? Bagaimana guru-guru bisa mengelaborasi problem sosial politik dan mata pelajaran sehingga kesadaran itu tumbuh dan dimiliki para pelajar?

Pedagogi dan Ekologi

Pedagogi kritis memandang duduk kasus ekologi ini sebagai bab integral yang tidak bisa dipisahkan dalam pendidikan. Alam dan insan sebagai orientasi menjadi titik pijak guna mendorong kebijaksanaan pekerti luhur untuk bekal "hidup". Alam dan masyarakatnya yaitu bab dari identitas --dua hal itu juga membentuk identitas kita (Ann Pole, 2019). Manusia dianggap sebagai bab dari planet bumi (Freirre, 2010).

Sebagai seorang pedagog, guru bekerja tidak hanya berurusan dengan transfer of knowledge yang menghasilkan pemahaman lingkungan dan jenis-jenis mikro-makro-organisme yang ada di bumi. Lebih dari itu, seorang guru juga harus bisa mendorong kesadaran yang menumbuhkan pemahaman evakuasi lingkungan/iklim dari kerusakan. Kesadaran ini pertama-tama mesti dibongkar secara politik, antara lain dengan memperlihatkan pemahaman wacana kekerabatan kausalitas antara ekonomi politik dan pengaruh lingkungan, bagaimana keterlibatan korporasi, kebijakan peran, dan industri telah menyumbang banyak kerusakan lingkungan di bumi.

Pendekatan moral berbasis "dimulai dari diri sendiri" dengan misalnya "jangan buang sampah sembarangan" harus sudah mulai diubah, atau dimajukan cara pandangnya ke arah yang lebih radikal (mengakar). Pendekatan tersebut harus mengarah pada pandangan "stop perusakan lingkungan yang dilakukan oleh industri", dorong regulasi yang berorientasi kepada kemaslahatan hidup dan lingkungan orang banyak. Bukan yang berorientasi kepada laba dan melahirkan eksploitasi berlebihan.

Pada porsinya, guru harus bisa mendekatkan belum dewasa ke alam lingkungannya. Mampu mengundang minat siswa untuk menjalin kebersamaan dengan alam, menyerukan perhatian mereka kepada tanah, air, dan udara buminya (bangsanya), sehingga siswa menemukan identitasnya dan berlaku arif terhadapnya. Atau sesuatu yang paling ekstrem lagi menyerupai yang diungkap oleh Rabindranath Tagore: jangan bawa masuk pohon ke dalam kelas, tetapi ajak siswa berguru di bawah pohon.

Pada periode modern ini, sepertinya hal menyerupai itu semakin jauh dari harapan. Sekolah sebagai perwakilan negara masih menopang sistem pengetahuan yang berlaku mainstream di dunia (berorientasi pasar, kapitalistik, ekspansif), sehingga pada faktanya arah dan capaian forum pendidikan dimaknai hanya sebatas kemauan pasar, sebagai mesin produksi pencetak tenaga kerja. Lihat saja yang terjadi di Indonesia; moto, visi, dan misinya masih sangat mayoritas wacana itu.

Kenapa arah dan orientasi pengetahuan serta capaiannya kita permasalahkan dan pada karenanya berujung pada tema besar krisis iklim global yang terjadi hari ini? Karena pada ketika yang sama kita "dipaksa" (secara tidak langsung) berpikir bahwa duduk kasus iklim yaitu duduk kasus moral dan takdir Tuhan. Trump dalam penggalan-penggalan wawancaranya terkait pemanasan global menyebut dengan nada sinis bahwa hal ini yaitu hoax dan sesuatu yang tidak penting dibicarakan. Pernyataan Trump senada dengan Wiranto, Menko Polhukam RI yang menyebut bahwa kebakaran di Riau tidak separah yang diberitakan oleh media.

Kesadaran "negara", yang dalam hal ini direpresentasikan oleh orang yang disebutkan di atas, secara tidak eksklusif mewarnai dinamika politik pendidikan di dalamnya, sebagai hidden curriculum, alasannya yaitu sekolah yaitu instrumen kekuasaan dan guru yaitu aparatus yang paling memainkan tugas kunci. Jika kesadaran para guru bisa keluar dari kerangka politik pendidikan kekuasaan, ia akan bisa menjembatani kesadaran siswa. Jika tidak, guru lagi-lagi hanya sebagai sales marketing kepentingan kekuasaan yang menempatkan siswa sebatas objek dan konsumen pengetahuan.


Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Belum ada Komentar untuk "Siswa, Pedagogi, Dan Climate Strike"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel