Hukuman Mati Dan Tantangan Diplomasi

Konten [Tampil]
Hukuman Mati dan Tantangan Diplomasi
Jakarta -

Setelah menuntaskan dua gelombang sanksi hukuman mati bagi terpidana narkoba, pemerintah mengindikasikan tak akan menghentikan opsi tersebut. Meskipun banyak sekali kecaman dan tekanan tiba dari masyarakat internasional, sanksi mati akan terus mengisi halaman gosip surat kabar sampai setahun ke depan.

Sejauh ini opini di masyarakat terbelah antara mendukung dan menentang sanksi mati. Pihak yang mendukung menyandarkan argumennya pada "kedaulatan hukum" Indonesia, sementara yang menentang menyoal kelayakan sanksi mati dilihat dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM).

Penulis sendiri memahami kekecewaan masyarakat dunia terhadap sanksi mati. Namun sebagai bangsa, kita mempunyai kedaulatan, termasuk kedaulatan dalam bidang hukum. Oleh alasannya yakni itu kita harus mendukung kebijakan yang sudah diambil oleh negara, dalam hal ini Presiden Joko Widodo. Meski demikian, alasannya yakni interaksi antar negara berjalan dinamis, dibutuhkan taktik yang sempurna untuk mengelola isu death penalty, sehingga tidak menganggu jadwal politik luar negeri kita. Justru kita harus bisa mengubah krisis tersebut menjadi peluang. From crisis to opportunity.

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sebagai pihak yang berada di depan dalam diplomasi internasional menghadapi banyak sekali tantangan pasca sanksi mati tersebut. Tantangan dimaksud di antaranya, kelanjutan kerjasama Selatan-Selatan yang didorong Indonesia pasca peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) beberapa waktu lalu.

Presiden Jokowi secara lugas menyampaikan tidak percaya lagi dengan World Bank, Asial Development Bank (ADB) maupun International Monetary Fund (IMF). Atau dalam bahasa Jokowi, "menghilangkan dominasi negara ke negara lainnya". Hal itu akan direalisasikan dengan penguatan kapasitas ekonomi negara-negara Selatan semoga tidak lagi tergantung pada tiga lembaga tersebut (baca: Utara atau negara maju). Meskipun sejumlah data yang dikutip Jokowi perihal utang Indonesia ke IMF dibantah oleh Menkeu Bambang Brodjonegoro, tapi kita anggap itulah perilaku Presiden Jokowi terhadap World Bank, ADB dan IMF.

Poros Selatan-Selatan

Pada titik ini, dengan adanya sanksi mati, maka ambisi Indonesia untuk menjadi "poros" ekonomi diantara negara-negara Selatan dipastikan tak akan mudah. Paling tidak ada tiga alasan yang dikhawatirkan penulis akan menjadi penghalang.

Pertama, reaksi keras yang ditunjukkan Brasil (salah satu anggota BRICS, yang cukup pesat kemajuan ekonominya) pasca sanksi mati kepada dua warganya. Presiden Brasil, Dilma Rousseff, menyatakan akan mempertimbangkan korelasi dengan Indonesia menyusul sanksi terhadap warganya, Rodrigo Gularte dan Marco Archer Cardoso Moreira.

Dalam jangka pendek negara Amerika Latin tersebut tidak akan mengirim Duta Besar pengganti pasca ditariknya dubes Januari lalu. Selain Brasil, beberapa warga negara Afrika juga menjalani sanksi mati, dan ini mengakibatkan diplomasi Indonesia di Afrika juga tak akan ringan. Terlebih ketika ini muncul protokol di Afrika untuk peniadaan sanksi mati, sebagai pecahan dari penghargaan HAM di Afrika.

Kedua, sanksi mati akan menganggu korelasi Indonesia dengan negara-negara Utara. Sebagian besar negara-negara di Amerika Utara, Eropa dan Australia sudah meratifikasi pelarangan sanksi mati. Sebagaimana kita ketahui negara- negara tersebut menawarkan reaksi keras sebelum dan sesudah sanksi dilakukan di Indonesia.

Dalam kaitan dengan diplomasi, reaksi keras mereka sanggup dipahami. Negara-negara di atas selama 10 tahun terakhir kerap mendukung Indonesia, baik ketika menghadapi krisis maupun dalam panggung diplomasi. Saat tragedi tsunami di Aceh, 2004, negara-negara Utara banyak terlibat dalam rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.

Di panggung politik internasional, negara-negara tersebut juga secara sungguh-sungguh telah menawarkan proteksi kepada Indonesia menyerupai pada ketika pencabutan embargo militer AS kepada TNI, pembukaan kembali rute penerbangan eksklusif Jakarta ke Amsterdam dan London, serta penguatan kerjasama bidang pendidikan, budaya dan pariwisata dengan Australia. Di lembaga PBB, Indonesia yang semenjak 1998 seolah "terlempar dari panggung dunia", alasannya yakni banyak sekali perkara pelanggaran HAM, semenjak 2006 secara sedikit demi sedikit mendapat kembali kepercayaan dari negara-negara Barat.

Indikator naiknya posisi Indonesia di panggung internasional sanggup juga dilihat dari terpilihnya Indonesia di sembilan tubuh PBB dan organisasi internasional lainnya. Pada badan-badan tersebut, Indonesia terpilih dengan rata-rata angka proteksi yang cukup tinggi, sekitar 165 dari 192 anggota PBB.

Bahkan, Indonesia juga dipercaya masuk ke dalam Dewan HAM PBB dan Dewan Keamanan, sesuatu yang di masa kemudian sangat mustahil, mengingat track record kita yang dianggap sebagai negara pelanggar HAM. Bahkan pada November 2007, Indonesia akan menjadi Ketua Sidang DK PBB, menggantikan Prancis. Atas sejumlah capaian itu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan Indonesia ketika ini merupakan negara paling dinamis dan penting di Asia Pasifik.

Dalam konteks politik luar negeri Presiden Jokowi, menjadi jadwal penting bagi pemerintah untuk mempertahankan dan meningkatkan semua capaian tersebut melalui serangkaian "jurus-jurus" diplomasi yang mumpuni. Namun cita-cita tersebut seakan membentur tembok pasca sanksi mati dilaksanakan. Di sinilah penulis melihat perlunya Kemlu dan jajarannya mengambarkan diri bisa mengubah krisis menjadi peluang.

Ketiga, proteksi terhadap TKI yang terancam sanksi mati di banyak sekali negara. Data BNP2TKI menunjukkan, ketika ini setidaknya ada 279 TKI yang menghadapi sanksi mati di seluruh dunia. Jumlah ini tentu bukan sekedar angka, melainkan jiwa insan yang harus diupayakan semaksimal mungkin untuk diselamatkan.

Jujur kita katakan, belum ada upaya maksimal dari pemerintahan Jokowi untuk bisa menyelamatkan TKI kita di luar negeri. Terakhir, bulan kemudian TKI menjalani sanksi pancung di Arab Saudi tanpa pembelaan berarti oleh pemerintah. Padahal di periode sebelumnya kita pernah bisa menyelamatkan nyawa TKI dengan banyak sekali cara (total diplomacy).

Harapan akan nyawa TKI yang bisa diselamatkan sepertinya makin menipis seiring pelaksanaan sanksi mati oleh pemerintah Indonesia. Negara-negara lain akan melihat apa yang kita lakukan, dan menjalankan sanksi yang sama kepada warga kita. Tiga titik krusial inilah yang harus dijawab oleh Presiden Jokowi dalam waktu dekat.

Diplomat Super

Dalam upaya ke sana, meskipun berat, selalu ada jalan untuk mencari solusi. Selalu ada kemungkinan, sekecil apapun peluangnya. Maka dari itu diharapkan taktik ekstra dari pemerintah, khususnya Kemlu sebagai garda terdepan polugri (politik luar negeri-red) bangsa.

Salah satu cara yang harus dilakukan yakni memperkuat barisan diplomat dengan diplomat yang mempunyai kapasitas, jam terbang dan pengalaman mumpuni, khususnya mereka yang akan bertugas di negara- negara yang mempunyai dilema dengan Indonesia pasca sanksi mati. Diplomat jenis ini harus mempunyai kemampuan lobi, keuletan dalam negosiasi, kecakapan dalam debat, dan kemampuan sebagai seorang marketer. Tanpa itu efek sanksi mati hanya akan menjadi tragedi yang sulit disembuhkan.

Di tengah cita-cita akan munculnya "diplomat-diplomat super" tersebut, ketika ini kita kurang jelas mendengar isu banyaknya orang non Kemlu yang masuk sebagai calon dubes yang akan mengisi beberapa pos penting di luar negeri. Penulis menilai kemudahan merupakan hal yang masuk akal dalam politik kalau takarannya tepat, tidak berlebihan. Tetapi untuk sektor-sektor krusial menyerupai Kemlu, seharusnya politik kemudahan tersebut tidak dilakukan, paling tidak untuk masa sekarang.

Sebab yang kita hadapi bukan sekedar mengurus perusahaan, melainkan menyangkut nyawa 279 TKI yang terancam sanksi mati di luar negeri, gambaran Indonesia sebagai negara demokratis, dan pertumbuhan ekonomi kita. Penulis mengharapkan semoga Kemlu dengan diplomat-diplomat profesional dan kompeten benar-benar menjadi garda terdepan diplomasi di tengah situasi krisis ketika ini.

*) Tantowi Yahya yakni Wakil Ketua Komisi I dewan perwakilan rakyat RI


Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Belum ada Komentar untuk "Hukuman Mati Dan Tantangan Diplomasi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel