Menghapus Perdagangan Manusia

Konten [Tampil]
Menghapus Perdagangan ManusiaFoto: Agung Pambudhy

Jakarta -

Lagi-lagi tenaga kerja Indonesia meninggal di luar negeri. Adelina Sau (Lisoi), warga Nusa Tenggara Timur (NTT) meninggal secara mengenaskan. Setelah secara tidak manusiawi dibiarkan tinggal bersama anjing dan dalam kondisi kelaparan akhir siksa majikannya, Adelina mengembuskan napas yang terakhir di rumah sakit setempat. Hasil post-mortem menyatakan bahwa korban meninggal alasannya beberapa kegagalan organ akhir anemia. Setelah 2,5 tahun berada di Malaysia, Adelina mudik terbujur kaku di peti mayat.

Adelina berangkat ke negeri jiran lewat calo yang menggandakan dokumen kewarganegaraannya. Orangtua Adelina menyampaikan bahwa anaknya "dibawa lari" oleh perekrutnya. Perekrut yang tidak terang itu pun tidak diketahui hingga hasilnya Adelina dilaporkan tewas. Parahnya, perekrut yang membawa kabur Adelina sebelumnya sudah ditangkap alasannya masalah serupa di provinsi yang sama.

Sampai dengan Agustus 2017, sedikitnya 137 masalah perdagangan orang yang tercatat di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Provinsi NTT. Angka itu memang menurun dari tahun sebelumnya (2016) yang berjumlah 400 kasus, namun masalah yang tercatat hanyalah fenomena gunung es dari praktik perbudakan modern (modern slavery) yang bekerja terselubung di Indonesia.

Dalam laporan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat Trafficking in Persons Report (2017), Indonesia ditempatkan sebagai negara yang belum memenuhi standar (internasional) dalam rangka pembatalan perdagangan manusia. Walaupun, sudah ada upaya serius pemerintah untuk pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

Cukup menarik apa yang menjadi catatan kelemahan Indonesia berdasarkan Amerika. Pertama, pemerintah dianggap kurang komprehensif mengenal indikator perdagangan (manusia), dan peraturan yang ada masih menyulitkan upaya proaktif identifikasi potensi korban di kalangan rentan. Kedua, dilema pengumpulan data, penyebaran informasi, dan koordinasi antarlembaga negara yang tidak memadai. Selain itu, masih ada dilema peraturan sejumlah tempat yang membatasi migrasi tenaga kerja antardaerah yang membuka peluang transaksi gelap perdagangan insan di kalangan rentan. Ketiga, faktor endemik korupsi yang menghalangi pemberantasan perdagangan insan serta memperlihatkan (peluang) impunitas bagi pelaku.

Penegakan Aturan

Indonesia sudah mempunyai UU Nomor 21 Tahun 2007 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Definisi perdagangan orang yang dianut dalam undang-undang ini pun sejalan dengan Protokol Perdagangan Manusia yang dianut dalam PBB. Sejumlah protokol internasional PBB sudah diratifikasi Indonesia. Namun praktik kejahatan perdagangan insan terus berkembang, dan memerlukan kejelian abdnegara penegak hukum.

Lembaga internasional mengategorikan modern slavery dalam bentuk kejahatan perdagangan insan dalam dunia seks (sex trafficking), seks anak (child sex trafficking), kerja paksa (forced labor), penjeratan utang (bonded labor), pekerjaan rumah tangga dengan paksaan (domestic servitude), pekerja paksa belum dewasa (forced child labor), tentara anak, dan perekrutan melanggar aturan (unlawful recruitment and use of child soldiers). Kategori ini dibuat dari praktik-praktik yang telah ditemukan. Besar kemungkinan ada praktik dalam bentuk lain di tiap-tiap negara. Untuk itu, penyelidikan dari setiap masalah yang terjadi di Indonesia harus mendetail hingga menemukan contoh dan motif dari kejahatan tersebut. Dari sini Indonesia perlu lebih saksama memahami indikator-indikator perdagangan insan yang berkembang di dunia.

Bisnis besar yang melatarbelakangi modern slavery ini menuntut pemerintah untuk bertindak tegas. Jika merujuk pada peraturan yang ada, eksekusi terhadap pelaku perdagangan insan ini belum memperlihatkan kemampuan untuk menghukum secara keras praktik tidak manusiawi. Pidana terendah dari praktik perdagangan insan ini hanya 3-5 tahun (korban cacat), dan tertinggi 15 tahun hingga seumur hidup (korban mati). Demikian pula dengan denda.

Dalam praktiknya, seringkali penyelidikan masalah perdagangan orang hanya berhenti pada pelaku (calo) perdagangan dengan eksekusi yang tidak bisa dianggap berat. Namun, aktor-aktor lainnya seringkali dialpakan. Misalnya, sulit membayangkan sebuah kartu keluarga sanggup dipalsukan jikalau tidak ada oknum abdnegara yang terlibat. Demikian pula dengan paspor. Untuk jarak yang tidak terlalu jauh mungkin bisa terjadi perdagangan dengan cara menyelundupkan (smuggling), namun ini pun akan sulit jikalau tidak ada keterlibatan pihak lain selain calo. Untuk itulah penyelidikan hingga ke tahap penuntutan dan eksekusi harus hingga menyentuh semua jaringan yang bekerja.

Selain itu, permasalahan penegakan aturan akan semakin rumit jikalau ternyata Indonesia tidak mempunyai janji kolaborasi pemberantasan perdagangan insan di tingkat regional bahkan global. Keterlibatan pemerintah Indonesia dalam penyelidikan yang berlangsung di luar negeri mutlak diperlukan, dan ini mensyaratkan Indonesia untuk membangun kolaborasi luar negeri yang efektif.

Koordinasi yang baik antarlembaga pemerintahan dengan lembaga-lembaga penegakan aturan juga perlu disinkronkan. Kita tahu, Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, dan Kepolisian telah membentuk ratusan taskforce hingga ke tempat guna memberantas kejahatan ini. Namun, hal tersebut belum terkoordinasi dalam satu kesatuan kerja bersama yang sanggup cepat bergerak dan tangkas dalam menuntaskan kasus-kasus perdagangan manusia. Maksudnya, koordinasi tidak hanya di wilayah kerja akan tetapi juga koordinasi sumber-sumber daya yang dimiliki untuk sanggup dimobilisasi bersama.

Di samping itu, belum adanya alokasi APBN yang secara khusus didedikasikan untuk pembatalan perdagangan manusia, mengindikasikan belum cukup seriusnya pemerintah untuk melindungi warganya dari praktik perdagangan insan ini. Ada baiknya, dibentuknya koordinasi antarlembaga yang efektif juga diiringi dengan alokasi APBN yang mencukupi untuk mengupayakan pembatalan perdagangan insan secara terukur.

Pemanfaatan IT

Dunia digital yang terus berkembang ketika ini memungkinkan proses-proses yang dahulu dibatasi ruang, jarak, dan waktu menjadi terpangkas. Infrastruktur telekomunikasi Indonesia juga kian hari makin membaik. Inilah peluang yang bisa dipakai struktur pemerintah dalam hal pengumpulan dan penyebaran informasi berkenaan dengan kejahatan perdagangan manusia.

Hampir menjadi belakang layar umum, data resmi yang disediakan pemerintah tidak sinkron antara satu forum dengan forum lainnya. Umumnya, ini terjadi alasannya adanya tumpang tindih atau persinggungan kewenangan antara satu forum dengan yang lainnya. Kondisi yang demikian memerlukan pelembagaan penanganan perdagangan insan secara lebih tangkas. Koordinasi antarlembaga, menyebarkan sumberdaya, dan sumber informasi terpusat menjadi tantangan forum yang selama ini mempunyai perhatian terhadap pembatalan perdagangan manusia.

Pemalsuan dokumen kependudukan akan makin sulit dilakukan jikalau pendataan kependudukan Indonesia sudah menganut single identification number (SIN). Perkembangan digital di Indonesia memungkinkan SIN untuk sanggup segera diterapkan. Apalagi ketika ini digitalisasi data Kartu Tanda Penduduk WNI (e-KTP) sudah mencapai 97,6% (Februari 2018). Jika dalam KTP elektronik ini secara perlahan juga dimasukkan (integrasi) data kepesertaan Kartu Indonesia Sehat, data nomor telepon seluler, data pendidikan, Surat Izin Mengemudi, data legal/hukum, dan banyak sekali data elektronik lainnya, negara akan mempunyai data besar terkait penduduknya.

Semakin sulitnya pemalsuan dokumen dilakukan, akan semakin menciptakan ketat pengamanan perbatasan negara. Harapan makin menyempitnya bahkan musnahnya perdagangan insan terjadi di Indonesia pun semakin besar. Apalagi jikalau kolaborasi antara Indonesia dan negara lain juga terbangun secara efektif. Indonesia sanggup mengamankan penduduknya yang keluar, dan sebaliknya juga ikut membantu pengamanan warga negara lain yang rentan masuk Indonesia sebagai korban perdagangan manusia. Kembali lagi, ini hanya bisa berjalan mulus jikalau sikap koruptif semakin ditekan peluang terjadinya.

Jika langkah penegakan aturan dan pemanfaatan IT belum bisa terlaksana, saya ingin mengatakan, Indonesia perlu melaksanakan moratorium terutama terhadap Malaysia terkait pekerja Indonesia bidang domestik. Karena dalam kenyataannya, pekerja ilegalnya lebih besar ketimbang yang legal. Dengan demikian, pendapatan negara sesungguhnya kecil. Kesediaan antara Indonesia dengan Malaysia untuk duduk bersama membahas hal ini bergotong-royong cukup urgen. Apalagi laporan menunjukkan, masalah penyiksaan dan kematian TKI di negara serumpun itu cukup tinggi. Sayangnya, semenjak 2016 Malaysia belum menyatakan kesediaannya. Kiranya, pemerintah harus lebih keras lagi mengupayakan terwujudnya hal tersebut.

Akhirnya, menghapus modern slavery membutuhkan kerja terintegrasi dari banyak sekali forum pemerintah. Kerja ini juga membutuhkan kolaborasi dengan forum di luar pemerintah termasuk dengan organisasi, forum negara asing, dan pihak-pihak lain yang mempunyai perhatian yang sama. Kerja sama-kerja sama bilateral, regional, dan internasional perlu diintensifkan untuk terus menekan praktik perdagangan manusia. Informasi yang makin terbuka akan memudahkan kerja forum resmi dalam mengawasi praktik ini. Pelibatan warga dalam menjaga lingkungan sekitarnya ialah juga hal yang tidak kalah pentingnya. Mengupayakan kompensasi bagi korban sambil terus menekan praktik perdagangan insan menjadi pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan secara serius langkah nyatanya.

Amelia Anggraini anggota Komisi IX DPR, Fraksi Partai NasDem




Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Belum ada Komentar untuk "Menghapus Perdagangan Manusia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel