Melihat Trans-Nasionalisme Bekerja

Konten [Tampil]
Melihat Trans-Nasionalisme BekerjaFoto: ABC Australia

Jakarta -Sejak awal kala 1980-an mulai terkenal paradigma trans-nasionalisme menggeser mantra nasionalisme yang ramai dirayakan semenjak berakhirnya kala kolonialisme. Nasionalisme melihat kepentingan dalam negeri lebih utama di atas kepentingan bangsa lain. Sementara trans-nasionalisme bukan berarti mengabaikan kepentingan dalam negeri, tapi melihat dunia yang tak terpisah-pisah, saling terkait, tak ada satu pun yang bisa mengisolasi diri lantaran saling membutuhkan. Tentu saja meredupnya paradigma nasionalisme dan populernya pandangan trans-nasionalisme tak lepas dari kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi.

Orang Malaysia, Hong Kong, Taiwan tidak bisa hidup damai dan maju industrinya tanpa keuletan tenaga kerja dari Indonesia dan Filipina. Sama halnya ibarat Saudi dan negara Timur-Tengah lainnya yang mempekerjakan sekitar dua juta TKI. Indonesia sendiri bisa tidak akan kondusif kalau membiarkan jutaan tenaga produktifnya menganggur di kampung tanpa pekerjaan dan penghasilan yang memadai. Menyalurkan mereka ke negeri yang membutuhkan itu termasuk solusi yang realistis. Anak-anak di kampung-kampung butuh pedoman cash yang niscaya untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Jutaan warga Indonesia yang berada di luar negeri telah membantu menghidupkan perekonomian desa-desa di Jawa, menghidupkan ekonomi nasional sekaligus negeri-negeri yang mereka datangi.

Ada kesan sementara menjadi TKI yakni pekerjaan hina lantaran menjadi babu di negara lain. Ini perspektif nasionalisme yang tidak sepenuhnya benar. Sejak kala teknologi digital, TKI baik sebagai pekerja kelas bawah atau profesional mengalami perubahan cara hidup sebagai kaum migran yang berbeda dari kala sebelumnya.

TKI kini tidak ibarat dulu lagi yang terisolasi dan menderita lantaran kultur yang berbeda, menderita dalam kesepian dan keterasingan. Mereka meski berada di Taiwan, Hong Kong, atau Saudi sanggup setiap hari menghubungi keluarga dan orang-orang tercinta di Indonesia dengan video call. Mereka juga tetap bisa mempraktikkan kultur dan tradisi Indonesia, ibarat memasak masakan Indonesia, menyanyi, dan berpakaian ala orang Indonesia. Mereka bisa berasosiasi dan berserikat memenuhi ruang ruang publik di negara barunya. Tentu ada kasus-kasus pengecualian, namun begitulah tren umumnya. Minoritas di negara absurd bukan masalah.

Kecuali Saudi, negara-negara peserta TKI umumnya juga tidak gegabah mengundang TKI untuk menelantarkannya. Badan-badan internasional terkait hak asasi dan proteksi buruh dan imigran juga turut melaksanakan monitor. Kata banyak andal migrasi internasional, kebanyakan kaum migran kini hanya satu kakinya saja yang berada di negeri asing, tetapi kaki yang lain berada di negeri asalnya.

Indonesia butuh Eropa, China, dan AS yang mau menampung komoditas-komoditas pertanian, perkebunan, pertambangan, perikanan, kerajinan. Tanpa pasar yang terbuka dari negeri-negeri tersebut, kelapa sawit tembakau, karet, kopra, kopi akan menumpuk dan membusuk di gudang dan sawah kita. Para petani, nelayan, dan kaum pekerja lainnya di Indonesia tak bisa menikmatinya. Sebaliknya juga Eropa, China, AS butuh Indonesia untuk pemasaran komoditas mereka yang belum bisa disaingi produk Indonesia.

Mereka juga butuh nikel, timah, batubara dari Indonesia untuk materi industrinya. World Cup 2018 kemarin memang diadakan di Rusia, tapi jangan lupa si kulit bundarnya disuplai dari Tasikmalaya. Pun lomba bulutangkis internasional, shuttlecock-nya didatangkan dari perusahaan di Tegal yang menghimpun bulu-bulu bebek dari seluruh Indonesia. Semua saling terhubung dan membutuhkan.

Ingat, krisis industri China 2009 kemarin yang disebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik (menurunnya daya beli) menyebabkan banyak pabrik tutup dan membatasi produksi. Kondisi ini berefek domino. Pasar global lesu, ekspor komoditas ke negara terbesar di dunia itu terkoreksi, harga minyak turun, panen sawit rugi, kamar hotel sepi, padi dan cabai tak terbeli. Kejadian utamanya di Beijing, tapi efeknya hingga ke lorong-lorong toko elektronik di Glodok hingga warung kopi di sudut pulau kecil di Nusantara.

Jika saja Donald Trump tetap berparadigma nasionalisme pribadi (yang rasis), hanya mementingkan dalam negeri, harusnya ia tak peduli dengan bahaya negara-negara lain dengan menghentikan operasional pesawat BOEING 737 MAX. Sebaliknya, ia bisa saja menekan negara-negara konsumen BOEING tersebut dengan contohnya memboikot balik produk ekspor dari negara-negara pemesan atau mengembargo proteksi teknologi sparepart mesin-mesin berat. Dia bisa bilang, "Anda sudah kesepakatan mau beli produk saya, kini mau batalin. Saya bisa setop kebutuhan sparepart senjata, mesin mobil, pesawat, senjata tentara kalian."

Atau bisa saja demi alasan nasionalisme Trump memaksa Facebook, Google, dan Microsoft berhenti melayani market mereka di negara-negara yang ngeyel atau bahkan mensuplai data privat warga dunia untuk kepentingan AS. Jelas, di zaman yang tak terbatas informasi dan komunikasi ibarat kini mustahil Trump bertindak nekat. Berapa puluh juta tenaga warga Amerika yang terserap di industri-industri besar tersebut dari hulu ke hilir.

AS bisa punya nuklir, tapi rakyat yang lapar dan butuh pekerjaan di dalam negeri bisa menciptakan kekuatan nuklir tak berfungsi. Kalaupun nekat (dan tidak mungkin), industri pesaing di negara-negara lain sudah otomatis memiliki kesempatan lebih maju dan sekaligus menenggelamkan industri Amerika secara pelan-pelan. Berubahnya pendirian Trump dengan menghentikan penerbangan Boeing 737 MAX yakni lantaran tekanan solidaritas lintas batas negara. Meski korban pesawat jatuh sebagian besar dari Indonesia dan Ethiopia, tapi soliditas negara-negara lain yang bersatu dalam murung bisa membuka mata "nasionalisme" Donald Trump.

Di sinilah trans-nasionalisme bekerja. Tidak ada yang bisa bangun sendiri tanpa keterlibatan bangsa lain. Di kala trans-nasional kita tidak bisa berpikir "pokoknya demi kepentingan domestik", dan mewaspadai bangsa dan pihak lain. Kita tidak bisa melihat sisi bahaya saja dari masuknya investor-investor dan kolaborasi absurd di Indonesia tanpa melihat begitu banyak manfaat dari dana yang mereka gelontorkan dan technological skill yang mereka transfer.

Jika kita "ngeyel" mewaspadai kolaborasi industri/investor China, US, dan Eropa, maka Vietnam, Thailand, Filipina, Burma, dan negara-negara lain siap menampung mereka dan memberi manfaat besar kepada negara dan warganyanya sekaligus melejitkan potensinya meninggalkan Indonesia yang tertutup dalam tempurung nasionalismenya. Jika kita "ngotot" menutup Bali, Bandung, Raja Ampat untuk turis-turis China, mereka bisa ke Maldives, Thailand, Vietnam, Malaysia, atau ke Filipina.

Bisakah kini kita hidup hanya dengan wawasan nasionalisme saja tanpa kesadaran trans-nasionalisme? Misalnya menyimpan pemikiran hanya mau menggunakan produk-produk Indonesia saja? Memang benar baju dibeli di Tanah Abang (yang sebagian besar diimpor dari China), tapi benang, kancing, cetakan pewarna kain, dan mesin pembuat kainnya mungkin dari China, Jepang, dan Jerman. Tidak ada negara satu pun di dunia yang bisa menafikan tugas bangsa dan negara lain.

Satu bangsa atau satu nasionalisme bahwasanya hanya sebuah imajinasi masyarakat saja, begitu kata Benedict Anderson (1983). Sebelum kala modern kita terpisah-pisah menurut klan dan suku, kemudian sehabis bertemu dengan klan dan suku yang lain kita disatukan oleh "imajinasi" ideologi nasional bangsa. Pada perkembangannya nasionalisme sering ditafsirkan sebagai ideologi kelompok dominan. Nasionalisme Amerika dan Australia artinya supremasi kulit putih, begitupun India (Hindu), Malaysia (etnis Melayu), Israel (Yahudi), dan Indonesia (Jawa, masa Orde Baru). Di mana ideologi nasionalisme menguat, kelompok minoritas tertindas.

Sekarang sehabis samudra, gunung, jurang, dan awan tersambung oleh susukan komunikasi internet dan satelit di angkasa, masihkah relevan kita bicara berbuih-buih wacana nasionalisme dalam arti yang sempit (proteksi identitas nasional)? Masih relevankah kita membenci kedatangan sejumlah kecil orang asing, sementara belum dewasa kita menjadi minoritas sedang berguru dan bekerja di negeri asing? Maukah belum dewasa kita yang minoritas di luar negeri didiskriminasi, direndahkan, dan dicurigai?

Begitupun sama, saya kira, perasaan setiap insan atas saudara-saudaranya di negeri kita. Nasionalisme dan trans-nasionalisme harus didudukkan sesuai porsinya. Peristiwa penanganan pascabencana Tsunami di Aceh yang melibatkan warga dunia secara global menawarkan nasionalisme saja tidak cukup untuk menjelaskan sukarela kolaborasi warga dunia.

Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat (2005) menjelaskan metafora "bumi datar". Menurutnya apa yang terjadi di sudut suatu bangsa secara transparan sanggup terlihat oleh dari horizon mana pun. Artinya juga, apa yang terjadi di sudut dunia selalu terhubung dengan sudut bumi lainnya. Friedman pun menyampaikan entitas sosial apapun tanpa memperhatikan tanda-tanda global ini akan terlindas zaman. Hubungan insan kini ini mustahil bisa dibatasi secara sederhana oleh batas teritori atau kelompok komunal lainnya. Sekarang hubungan antarmanusia sudah menembus dinding-dinding kamar pribadi dan hanya mereka yang sadar akan fenomena tersebut yang sanggup survive.

Perlu ditegaskan di sini bahwa selain perspektif nasionalisme yang selalu digembar-gemborkan para politisi menjelang kontes politik nasional di Indonesia, perlu kita melihat kecenderungan trans-nasional yang tidak bisa dihindari. Semua negara bermain di ranah tersebut untuk bisa meraih sebanyak-banyak laba demi masa depan bangsanya. Tak ada satu pun negara yang tidak ingin berdaulat secara ekonomi, ketahanan, dan politik. Namun pertahanan yang lebih penting di kala trans-nasional kini ini yakni jaminan kesejahteraan bagi warganya. Alih-alih memproteksi diri, mengisolasi, bermanyun-manyun lantaran selalu curiga dengan asing, lebih baik kita bermain aktif melintas batas teritorial, meliuk, menari, bermanuver dengan takdir gres dunia yang semakin tak terbatas.

Kedatangan produk asing, turis, dan profesional absurd ibarat dokter, dosen, engineer, arsitek mustahil dibendung menurut konvensi-konvensi internasional. Bahkan nanti mungkin kampus dan rumah sakit. Begitupun tak mungkin ada larangan orang Indonesia berobat ke Singapura atau Malaysia. Dengan berleha-leha di bawah tempurung nasionalisme yang selalu curiga terhadap entitas asing, kita akan semakin terlambat berlomba, apalagi memenangkan persaingan global. Mendatangkan sebanyak-banyaknya investor atau pelaku bisnis absurd ke Indonesia bukanlah sesuatu yang buruk.

Sudah banyak teladan negara yang berhasil memainkan paradigma trans-nasional dalam politik investasinya. UEA, Qatar, Kuwait, Saudi, Singapura yakni teladan negara negara yang menjadi kaya lantaran perspektif trans-nasionalnya. Negara tersebut mengundang investor absurd bahkan warga absurd yang jumlahnya mengalahkan warga setempat. Siapa saja boleh tiba asal menguntungkan negara dan masyarakat setempat.

Banyak pula negara bermanuver dalam politik migrasi internasionalnya. Filipina, India, Meksiko, dan beberapa negara yang berbatasan dengan Amerika contohnya mereka tak mengutuki bangsa sendiri yang bekerja di luar negeri. Pemerintah justru semakin kreatif menciptakan kebijakan-kebijakan proteksi warganya di luar negeri yang berdampak nyata pada gairah ekonomi dan sosialnya di dalam negeri. Sungguh sangat sayang perdebatan wacana nasionalisme yang dilandasi motivasi politik telah menjauhkan kita dari esensi peradaban dunia yang sudah berubah.

Ali Amin, Ph.D (cand) International Studies Waseda University Tokyo, dosen IAIN Manado Sulut



Simak Video "Menristekdikti Minta Jangan Alergi dengan Kata 'Asing'"
[Gambas:Video 20detik]

Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Belum ada Komentar untuk "Melihat Trans-Nasionalisme Bekerja"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel