Mencari Pakar Yang Ilmuwan
Sabtu, 02 Maret 2019
Tulis Komentar
Konten [Tampil]
Jakarta -Di dunia yang berkembang pesat kita dihadapkan pada masalah-masalah gres yang jangankan untuk menyelesaikannya, untuk memahaminya saja kita sering tidak berdaya. Kita membutuhkan ilmu untuk mencerna dan mengatasi kasus tersebut, tetapi kita sering tidak tahu apakah ilmunya tersedia, dan kalaupun tersedia bisakah kita memahaminya dalam waktu yang ada.
Bangunan pengetahuan, lebih-lebih pengetahuan ilmiah, tersusun secara akumulatif. Kita harus lebih dulu memahami pengetahuan yang lebih dasar untuk memahami pengetahuan yang lebih lanjut. Pemahaman kita akan sesuatu dibangun di atas tumpukan pengetahuan demi pengetahuan. Kita tidak dapat loncat begitu saja. Ada tangga pengetahuan yang harus kita naiki untuk mencapai pemahaman tertentu.
Yang menjadi kasus yaitu tangga pengetahuan bukanlah tangga satu jalur, tetapi bercabang-cabang. Jika kita berguru sendiri, kita sering tidak tahu cabang mana yang harus kita lalui. Selain itu, kita juga sering tidak mempunyai cukup waktu untuk mempelajarinya sendiri. Karena itulah kita membutuhkan pakar, seorang yang mempunyai pengetahuan perihal kasus yang kita hadapi.
Ada jenis pakar yang lain, yang tidak hanya memanfaatkan pengetahuan yang ada, tetapi juga turut mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka yaitu para ilmuwan, yang umumnya bekerja di akademi tinggi atau forum penelitian. Mereka melaksanakan uji-coba dan pengamatan, mengembangkan model, dan melaksanakan eksplorasi teoretis untuk menjelaskan hal-hal yang bukan hanya tidak diketahui masyarakat umum, tetapi juga yang belum dipahami oleh ilmuwan lainnya.
Mereka dapat juga mencari klarifikasi ilmiah dari sesuatu yang sudah dikenal masyarakat luas, contohnya mengapa suatu ramuan tradisional dapat menyembuhkan penyakit tertentu, senyawa kimia apa yang terkandung dalam ramuan tersebut. Karena sifat pengembangan pengetahuan yaitu sarat dengan upaya saling berguru dan saling koreksi, seorang ilmuwan dapat saja bekerja untuk menguji temuan ilmiah dari ilmuwan lainnya. Pada dasarnya para ilmuwan bekerja untuk mengembangkan dan memperkuat bangunan pengetahuan yang ada, yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh ilmuwan lain, para pakar, praktisi dan masyarakat luas.
Pengembangan ilmu yaitu pekerjaan yang sulit. Karena itulah para ilmuwan umumnya menekuni bidang penelitian yang sempit. Kecuali ilmuwan yang bekerja untuk perusahaan/bisnis, umumnya para ilmuwan saling berguru dan membuatkan pengetahuan (knowledge sharing) dengan ilmuwan-ilmuwan lain di aneka macam penjuru dunia dengan cara saling mempelajari karya tulis ilmiah (KTI) mereka. Mereka membangun pengetahuan secara bersama-sama. Mereka mempublikasikan hasil penelitiannya dalam bentuk buku atau makalah dalam jurnal yang dapat dibaca dan dikritisi oleh ilmuwan lainnya. Mereka juga saling mengutip KTI masing-masing dalam rangka membangun teori ilmiah.
Keterlibatan banyak ilmuwan dalam upaya memahami suatu fenomena atau mengembangkan teori tertentu, termasuk dengan cara saling mengkritisi, yaitu cara komunitas ilmiah untuk lebih mendekati kebenaran atau objektivitas hasil penelitian. Keterbatasan cara atau sudut pandang seorang ilmuwan dapat dikompensasi oleh ilmuwan-ilmuwan lain. Hal ini dapat dicapai para ilmuwan antara lain dengan bekerja sama eksklusif dalam satu proyek penelitian. Tetapi, cara ini tidak dapat melibatkan banyak orang. Karena itulah publikasi hasil penelitian dalam KTI menjadi media para ilmuwan untuk mendorong pengembangan pengetahuan secara bersama.
Untuk menjaga kualitas KTI, komunitas ilmiah juga menerapkan prosedur untuk menjaga kualitas, yakni dengan penelaahan sejawat (peer-review), yakni penelaahan oleh ilmuwan yang menekuni duduk kasus yang sama atau berdekatan. Agar dapat leluasa tanpa mengganggu korelasi pribadi antar-ilmuwan, maka penelaahan itu dilakukan secara tertutup (blind review) --penelaah tidak tahu nama penulis dari KTI yang beliau telaah, dan penulis KTI juga tidak tahu siapa yang menelaah karya ilmiahnya.
Melalui penelaahan tertutup, penelaah dapat fokus pada kualitas KTI tanpa memandang reputasi atau gelar penulisnya, apakah S2, S3, atau profesor. Dalam mempublikasikan KTI-nya di penerbitan yang berkualitas, ilmuwan menyerupai pemain sepak bola yang di setiap pertandingan harus mengambarkan kualitas dirinya. Jika di pertandingan sebelumnya beliau sudah biasa mencetak gol, bukan berarti pada pertandingan berikutnya beliau niscaya dapat mencetak gol. Demikian juga dengan ilmuwan, biar karyanya dapat dipublikasikan di penerbitan yang berkualitas, beliau juga harus mengambarkan kualitasnya lagi, dengan cara dapat lolos dari proses penelaahan sejawat yang tertutup.
Tiap penerbitan mempunyai tingkat kualitas yang berbeda-beda. Kualitas penerbitan ilmiah menunjukkan, menyerupai pertandingan sepak bola, seorang ilmuwan mampu bermain di liga yang mana. Ketatnya penelaahan ini oleh banyak ilmuwan tidak dilihat sebagai perintang karier mereka, tetapi justru sebagai prosedur validasi untuk lebih mendekati objektivitas ilmiah. Banyak ilmuwan dapat meningkatkan kualitas KTI-nya sehabis mendapat umpan balik dari para penelaah yang tidak diketahui jati dirinya. Selain itu, kualitas penerbitan juga menawarkan kualitas mereka sebagai ilmuwan.
Adanya penerbitan dengan penelaahan yang ketat dapat membantu masyarakat non-ilmuwan, ilmuwan dari bidang yang berbeda, industri, forum donor, ataupun forum pemerintah dalam memperkirakan kualitas hasil penelitian, yang pada gilirannya juga memperkirakan kualitas seorang ilmuwan. Orang yang tidak menekuni bidang penelitian tertentu, tentu tidak dapat mengukur kebenaran atau kualitas KTI di bidang tersebut. Tetapi, dengan mengetahui bahwa KTI tersebut dipublikasikan dalam jurnal yang bereputasi tinggi dan mempunyai faktor efek yang besar, mereka dapat mengetahui bahwa KTI tersebut berkualitas.
Untuk membantu aneka macam pihak, termasuk ilmuwan yang gres mulai meniti kariernya, aneka macam organisasi ilmiah internasional mengeluarkan daftar jurnal dan buku dalam bidang keilmuan masing-masing. Untuk jurnal, sebagian organisasi ilmiah juga menciptakan daftar peringkatnya, yang biasanya sulit ditembus oleh ilmuwan pemula. Daftar jurnal dan buku yang lebih luas lagi yaitu yang disajikan dalam basis data pengindeks, mirip Scopus dan Clarivate Analytics (sebelumnya dikenal sebagai Thompson Reuters). Ada 37 jurnal yang diterbitkan di Indonesia yang sudah terindeks Scopus.
Basis data ini juga memuat jurnal-jurnal yang lebih gampang ditembus dibandingkan dengan yang ada pada daftar dari organisasi-organisasi ilmiah. Rentang kualitas jurnal yang diindeks Scopus cukup lebar, mulai dari kualitas Q4 yang terendah hingga kualitas Q1 yang tertinggi. Dari basis data ini, dengan teknik scientometrics, dapat ditemukan efek suatu jurnal, KTI, ataupun ilmuwan dalam pengembangan ilmu. Basis data ini membantu ilmuwan untuk mengidentifikasi tingkat kualitas jurnal yang akan dijadikan sebagai media untuk mempublikasikan hasil penelitiannya, sekaligus membantu pihak lain untuk memperkirakan kualitas atau efek ilmuwan yang akan dimintai bantuannya.
Ikbal Maulana peneliti di bidang filsafat dan kajian sosial teknologi di Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptekin (P2KMI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
Belum ada Komentar untuk "Mencari Pakar Yang Ilmuwan"
Posting Komentar