Kisah Buruh Migran Indonesia Yang Mendirikan Masjid Di Taiwan

Konten [Tampil]
Kisah Buruh Migran Indonesia yang Mendirikan Masjid di TaiwanMasjid yang dibangun TKI di Taiwan (Pasti/detikcom)

Donggang -Satu per satu laki-laki berwajah Melayu memenuhi Xingyu Street yang tak jauh dari Pelabuhan Donggang, Distrik Pingtung, Taiwan bab selatan, Jumat (23/6) menjelang tengah hari. Dengan menggenjot sepeda, mereka berduyun-duyun menuju sebuah rumah tak jauh dari pelabuhan tersebut. Parkiran depan rumah pun tak sanggup menampung sepeda-sepeda para buruh migran asal Indonesia tersebut.

Seiring dengan itu, sayup-sayup lantunan azan terdengar dari lantai tiga rumah itu memanggil mereka untuk bergegas masuk. Tak berapa lama, suara-suara dengan aksen ngapak ala Tegal dan sekitarnya seolah memenuhi ruangan-ruangan rumah. Ruangan lantai tiga rumah berukuran 16x4 meter yang juga difungsikan sebagai masjid pun dipadati hampir seratusan orang.

"Masjid ini dimiliki atas kerja keras buruh migran Indonesia di Taiwan," ujar seorang pengurus masjid Muhammad Soni seusai salat Jumat (23/6/2017) kepada detikcom.


Kisah Buruh Migran Indonesia yang Mendirikan Masjid di TaiwanMasjid yang dibangun TKI di Taiwan (Pasti/detikcom)

Soni menuturkan inspirasi mempunyai masjid untuk komunitas tenaga kerja Indonesia di Donggang sudah muncul 12 tahun silam. Pemikiran itu dilontarkan seorang TKI nelayan asal Tegal yang berjulukan Muhsin. Memang sebagian besar buruh migran berasal dari Tegal, Cirebon, dan Indramayu.

"Alasannya sederhana, selain untuk kawasan ibadah, juga untuk kawasan kumpul supaya nelayan kita tidak ke sana-kemari tanpa tujuan," kata Soni.

Ide mulia tersebut sempat hampir menguap ketika Muhsin harus meninggalkan Taiwan 8 tahun silam. Akhirnya Soni terpanggil untuk meneruskan rencana tersebut.

"Waktu itu teman-teman mulai menanyakan bagaimana kelanjutannya. Banyak pula yang mulai ragu akan keberhasilan inspirasi itu," ujar Soni.

Agar kawan-kawannya tak kehilangan semangat, Soni bahu-membahu TKI pelaut perikanan lainnya yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia menyepakati adanya iuran. Pertama kali besarannya 200 NT (sebutan mata uang Taiwan) atau sekitar Rp 90 ribu. Sebuah rumah berhasil dikontrak untuk dijadikan masjid dengan harga sewa 14 ribu NT (Rp 6,3 juta).

"Awalnya kurang, tapi pelan-pelan ada sisa dan kami simpan di bank," kata Soni.

Semangat yang sempat nyaris padam itu kembali berpendar. Gagasan gres untuk penggalangan dana kemudian dimunculkan. Kartu donatur kemudian dibentuk dan disebarkan ke kantong-kantong buruh migran di seluruh Taiwan. Iuran ditetapkan minimal 250 NT.

"Kartu dibentuk supaya para penyumbang terdata dan terpacu alasannya mempunyai komitmen," ujar Soni.

Dalam perjalanannya, Soni dikontak seorang warga negara Indonesia yang bekerja di Inggris melalui media sosial. "Dia tertarik memberi sumbangan bagi pembangunan masjid," katanya.

Rupanya calon pemberi sumbangan itu ingin tiba eksklusif ke Taiwan melihat kondisi buruh migran Indonesia di Donggang dan rencana pembangunan masjid.

"Kami menerima sumbangan 250 ribu NT dari beliau," ujar Soni.

Tak terasa sehabis 7 tahun proses penggalangan, dana terkumpul 6,5 juta NT atau setara dengan hampir Rp 3 miliar. Pengurus masjid merasa dana tersebut sudah cukup untuk membeli rumah yang dikontrak itu.

"Rupanya pemilik rumah enggan menjualnya," kata Soni.


Kisah Buruh Migran Indonesia yang Mendirikan Masjid di TaiwanNusron Wahid menemui TKI ilegal. (Pasti/detikcom)

Soni pun harus mencari alternatif lain. Akhirnya didapatkan sebuah rumah tiga lantai di Xingyu Street Nomor 155.

"Uniknya, di seberang rumah itu ada kawasan sembahyang kepercayaan Konghucu," ujarnya.

Rumah itu dibeli dengan harga 5,4 juta NT. Persoalan sempat muncul alasannya warga negara abnormal tak diperkenankan mempunyai properti. Namun pinjaman tiba dari Ketua Taiwan Muslim Association (TMA) Yasin. Yasin warga negara Taiwan yang memperistri wanita asal Indonesia.

"Pak Yasin bersedia namanya digunakan untuk membeli rumah," kata Soni.

Tentunya rumah itu tak sanggup eksklusif dipakai. Sebuah kawasan wudu kemudian dibangun di lantai dua. Lantai tiga khusus untuk masjid dengan kapasitas 120 orang pun harus ditambahi dua mesin penyejuk udara dan tiga kipas angin supaya jemaah nyaman melakukan ibadah.

"Perangkat pengeras bunyi dan karpet juga harus dibeli," kata Soni. Sebuah kawasan pengajian kecil juga disiapkan di sisi belakang dengan ukuran 4x4 meter. Biaya renovasi ini menghabiskan lebih dari 1 juta NT. Masjid kemudian diberi nama Masjid An-Nur Tongkang.

Selain kawasan ibadah, pengurus pun mendirikan Madrasah Diniyah Buruh Migran Indonesia Miftahul Ulum untuk menambah pengetahuan agama bagi para buruh migran.

"Masih banyak buruh migran di sini yang tiba dalam keadaan nol," kata Soni.

Lantai satu digunakan untuk Sekretariat Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia. "Kami juga berusaha keras menjaga kerukunan dan toleransi dengan tetangga sekitar," ujarnya.

Kepala Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI ) Nusron Wahid mengaku terkesan oleh keberhasilan para buruh migran Indonesia di Donggang membangun sebuah masjid. Ia juga mengingatkan para pengurus supaya menjaga dengan baik Masjid An-Nur. Nusron pun mewanti-wanti supaya status kepemilikan masjid diperhatikan supaya tak terjadi problem di masa depan.

"Bentengi betul masjid ini dari masuknya ajaran-ajaran yang mengarah ke radikalisme," ujar Nusron ketika berdialog dengan komunitas TKI di Masjid An-Nur Donggang.

Sumber detik.com

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Kisah Buruh Migran Indonesia Yang Mendirikan Masjid Di Taiwan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel