Pecut Udara Buruk

Konten [Tampil]
Pecut Udara BurukFoto: Jabbar Ramdhani

Jakarta -Dalam beberapa bulan terakhir ini gosip kualitas udara di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia yang menduduki posisi terburuk di dunia tiba silih berganti. Udara jelek yaitu bahaya bagi puluhan juta orang yang tinggal di kota-kota besar tersebut. Berita jelek yaitu "berita bagus". Maka gosip jelek itu pun menjadi trending topic dan headline berulang kali di aneka macam jenis media cetak, online, maupun sosmed. Efeknya menyerupai pecut.

Pemerintah pribadi merespons hal tersebut dengan aneka macam rencana, mulai dari kendaraan beroda empat listrik, transportasi umum, taman kota, hingga bunga pengecap mertua yang diyakini sanggup membersihkan udara dalam ruangan. Respons pemerintah kali ini jauh berbeda daripada sebelumnya. Bahkan terkesan sangat serius, mendadak, dan tidak terencana. Padahal udara Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia sudah kotor semenjak lama.

Berbagai andal lingkungan sudah memberikan itu bertahun-tahun yang lalu. Hanya saja, ketika itu pengukur udara online belum terkenal sehingga tidak banyak orang yang tahu. Hanya para andal dan pemerhati lingkungan yang menyadari hal tersebut. Dan, peringatan dari para andal dan pencetus lingkungan tersebut tidak direspons dengan memadai.

Sudah Sejak Lama

Sejak 2014, pemerintah bahwasanya telah menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang merupakan planning jangka panjang bauran energi di Indonesia. Dalam dokumen RUEN, sasaran bauran energi higienis atau Energi Baru Terbarukan (EBT) yang harus dicapai oleh Indonesia yaitu 23% pada 2025 dan 30% pada 2050.

Tujuan dari bauran EBT yaitu untuk keberlangsungan ekonomi dan ekologi. Makara planning membersihkan udara itu sudah ada semenjak lama. Hanya saja, perkembangan RUEN sangat lambat, bahkan semenjak dalam penyusunannya. Dokumen RUEN gres sanggup diluncurkan secara resmi sehabis ditandatangani oleh presiden pada 2017.

Jika penyusunan planning saja pelan, maka pelaksanaannya apalagi. Di sektor transportasi misalnya, hingga hari ini semua kendaraan masih memakai materi bakar fosil. Sementara sasaran untuk mencapai 23% tinggal 5 tahun lagi. Dari data BPS, jumlah kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, dan bus) di Indonesia mencapai 160 juta unit. Bagaimana mungkin kita sanggup mengonversi 36,8 juta kendaraan dalam waktu 5 tahun?

Untuk energi listrik, kita masih sedikit beruntung, alasannya yaitu ketika RUEN dibuat, bauran energi higienis pada pembangkit listrik sudah mencapai angka 11,5%, jadi kurang setengahnya lagi mencapai sasaran dalam 11 tahun. Namun demikian, menaikkan bauran EBT sebesar 11,5% ini ternyata tidak mudah. Dari data statistik yang dirilis Kementerian ESDM pada 2018, total pembangkit EBT yang dibangun dalam rentang 2014 - 2018 hanya 1.100 MW atau tidak hingga 2%.

Pada dokumen Rencana Umum Pengembangan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dikeluarkan oleh kementerian ESDM dan PT PLN pada 2019, sebagian besar sasaran EBT diletakkan pada tahun terakhir atau 2025. Pada tahun tersebut, dalam satu tahun saja pemerintah menargetkan menuntaskan 6.250 MW. Itu lebih besar dari seluruh pembangkit EBT yang dibangun sepanjang sejarah. Ini mengingatkan kita pada sistem kebut semalam ketika ujian sekolah atau kuliah.

Dan, tentu saja membangun pembangkit listrik tidak sama dengan ujian. Apakah ini berarti pemerintah mengalah dengan EBT? Semoga tidak.

PT PLN sebagai penyedia tunggal energi listrik ditugaskan untuk menyediakan listrik yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Dan, PT PLN cukup berhasil menjalankan kiprah ini alasannya yaitu harga listrik di Indonesia (rata-rata tertimbang semua golongan) yaitu yang termurah di Asia Tenggara.

Kendala utama listrik EBT yaitu harganya yang lebih mahal daripada listrik kerikil bara. Di samping juga jaringan (grid) kecil di luar pulau Jawa yang masih kurang stabil sehingga sulit mendapatkan energi listrik EBT yang kurang stabil.

Dari aneka macam kesempatan yang disampaikan baik oleh menteri ESDM maupun para petinggi lainnya, pemerintah masih mengutamakan ketersediaan dan keterjangkauan. Jika dihadapkan pada pilihan menyediakan listrik kotor yang murah atau listrik higienis yang lebih mahal, maka pilihan pemerintah selama ini jatuh pada listrik kotor yang murah. Hal inilah yang menjadikan pembangkit EBT jauh dari target.

Pecut udara kotor yang menjadi headline beberapa bulan terakhir supaya mengubah mindset di atas. Mengingat mindset wacana energi murah selama ini juga terbangun dari opini publik yang selalu mengeluhkan "harga listrik mahal" walaupun sudah paling murah di Asia Tenggara. Pilihan pemerintah pada energi kotor yang murah juga hanya didasarkan pada mindset, bukan data, dan bukan pertimbangan jangka panjang.

Bukan Mobil Listrik

EBT yaitu kunci penyelesaian udara kotor. Berbagai kebijakan yang dibentuk pemerintah menjadi kurang efektif bila sasaran EBT gagal. Mobil listrik misalnya; bila pembangkit listriknya masih memakai kerikil bara, maka kendaraan beroda empat listrik tidak ada gunanya. Itu hanya memindahkan pembakaran fosil dari Jakarta ke pembangkit-pembangkit listrik di sekitarnya.

Dari data kualitas udara Jabodetabek yang cenderung rata dan acak baik pada hari kerja maupun hari libur mengindikasikan bahwa penyebab kotornya udara bukan hanya asap mobil, tapi juga pembangkit kerikil bara yang di sekitar Jabodetabek. Dari data Walhi, total ada 10 pembangkit listrik kerikil bara dalam radius 100 km dari Jakarta yang setiap hari mengeluarkan emisi setara 10 juta kendaraan.

Maka memindahkan sumber polusi dari kendaraan ke pembangkit listrik yang jaraknya kurang dari 100 km bukanlah wangsit yang bagus. Saatnya pemerintah meninjau ulang planning pembangunan pembangkit listrik kerikil bara berukuran besar di Pulau Jawa dan menggantinya dengan EBT mengingat hanya jaringan di Pulau Jawa yang secara teknis cukup stabil untuk mendapatkan listrik EBT dalam jumlah yang besar.

Untuk pembangkit yang sudah telanjur dibangun mungkin terlalu mahal untuk dihentikan. Tapi pembangkit-pembangkit yang pada 2019 masih dalam tahap rencana, sebesar 14.000 MW menyerupai yang ada di RUPTL, masih sanggup ditinjau ulang.

Dari data Bloomberg, harga listrik EBT setiap tahun turun. Dalam waktu yang tidak usang lagi harganya akan bersaing dengan listrik fosil, termasuk kerikil bara. Lebih baik menghentikan planning pembangunan pembangkit kerikil bara daripada menutupnya di kemudian hari dan menjadi rongsokan alasannya yaitu sudah kalah bersaing dengan EBT di masa depan.

Abdurrahman Arum Clean Energy Investment Expert - Indonesia


Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Pecut Udara Buruk"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel