Mustofa, Difabel Peracik Miniatur Pinisi

Konten [Tampil]
Mustofa, Difabel Peracik Miniatur PinisiMustofa, perajin miniatur pinisi berbahan bambu. (Foto: Sudirman Wamad/detikcom)

Cirebon -Mustofa sibuk memotong bambu. Kendati mempunyai keterbatasan fisik, ia cekatan memotong bambu. Difabel asal Cirebon ini mencoba peruntungan menjadi seorang perajin miniatur bahtera pinisi berbahan bambu.

Lelaki berusia 26 tahun ini mengenal bambu semenjak 2006. Bambu menuntun kreativitasnya untuk terus berjuang. Mustofa terjangkit polio semenjak masih balita. Dia mengaku kerap mengalami patah tulang. Pertumbuhan tubuhnya pun tak sempurna.

"Katanya terkena ringkih tulang, alasannya yakni polio," kata Mustofa dikala berbincang dengan detikcom di kediamannya, Desa Guwa Lor, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (29/4/2019).

Tinggi tubuh Mustofa sekitar satu meter. Kaki kanannya lebih panjang dibandingkan bab kiri. Mustofa memakai bab lututnya untuk berjalan. Polio menggerogoti tubuhnya, tapi tidak dengan semangat hidupnya.

Keterbatasan tidak menciptakan saya sulit. Butuhnya tunjangan secara moralis, ya tunjangan dari lingkungan.Mustofa

Sebelum menentukan menjadi peracik bahtera pinisi, Mustofa sempat berbisnis sangkar dan pakan unggas. Namun, ia terpaksa menutup bisnis itu pada 2014.

"Bosan, terus saya bergelut lagi dengan bambu. Kemudian jadi ibarat ini (perajin miniatur pinisi)," katanya.
Mustofa, Difabel Peracik Miniatur PinisiMustofa mencoba peruntungan menjadi seorang perajin miniatur bahtera pinisi berbahan bambu. (Foto: Sudirman Wamad/detikcom)
Dia mengaku tak kesulitan menyulap bambu menjadi miniatur bahtera pinisi. Namun, Mustofa tak menampik, sebagai difabel perlu tunjangan secara budbahasa supaya terus memperjuangkan hidupnya.

"Keterbatasan tidak menciptakan saya sulit. Butuhnya tunjangan secara moralis, ya tunjangan dari lingkungan," kata laki-laki berbaju hitam ini.

April menjadi bulan kelima Mustofa memproduksi miniatur bahtera pinisi. Sahabatnya membantu memasarkan miniatur pinisi melalui media umum (medsos). Mustofa belum sanggup memasarkan sendiri karena tak punya ponsel pintar.

Ia kaget dikala sahabatnya, Ubaidilah (33), berkunjung ke rumahnya dan memesan sejumlah miniatur pinisi. Ya, Ubaidilah merupakan tangan kedua yang membantu pemasaran miniatur pinisi.

"Alhamdulillah, teman-teman ada yang support. Selain perahu, ada juga rumah gadang. Harganya tergantung tingkat kesulitannya, dari Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu," ucap Mustofa.

Mustofa mulai kebanjiran order dikala Ubaidilah mengunggah beberapa hasil kerajinan miniatur pinisi di akun Facebook Ocol Sang Petualang. Bahkan, berdasarkan dia, sejumlah TKI yang berada di luar negeri memesan hasil kerajinannya.

"Ya masih wilayah Jabar, ada juga (pesanan) dari Taiwan, Hongkong, dan Australia," ucapnya.

Mustofa Melawan Stigma

Stigma miring terhadap difabel kerap dirasakan Mustofa. Direndahkan, dianggap sebagai pengemis, dan lainnya. Stigma masyarakat itu menciptakan Mustofa mengelus dada. Kejadian tak mengenakan itu kerap dialami dia.

"Saya pernah jenguk sahabat ke rumah sakit, tapi mampir dulu ke minimarket buat beli minum. Padahal saya mau beli minum, saya malah dikasih receh dianggap alasannya yakni dianggap pengemis. Sering mendapat perlakuan ibarat itu," katanya.

Mustofa, Difabel Peracik Miniatur PinisiBambu menuntun kreativitas Mustofa untuk berjuang dalam kondisi keterbatasan fisik. (Foto: Sudirman Wamad/detikcom)
Kejadian yang sama juga ia alami dikala menaiki angkutan umum. Mustofa selalu menolak dikala diberi uang receh. Baginya stigma tersebut harus dilawan.

"Ya menolak secara ramah, maaf saya bukan orang ibarat itu (pengemis). Mungkin maksudnya baik, tapi tempatnya salah," ucapnya.

Mustofa memegang prinsip memberi lebih baik daripada menerima. Baginya, salah satu jalan menuju nirwana yaitu berbuat baik atau membantu orang lain. "Menjadi pengemis itu tak akan mencium amis surga. Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang pengemis," tuturnya.

Menurut Mustofa, penyandang difabel hanya perlu tunjangan secara moral. Masyarakat seharusnya tak hanya memandang keterbatasannya. "Harapannya ya mendapat dukungan. Dukungan supaya tidak memandang kami ibarat ini (keterbatasan fisik)," kata Mustofa sambil menunjukkan keterbatasan fisiknya.

Belasan Tahun Ditinggal Orang Tuanya

Mustofa merupakan anak dari suami-istri yang sudah bercerai, Sukemi (52) dan Ocah (49). Ocah, ibu kandung Mustofa menceritakan pahitnya kehidupan yang dirasakan Mustofa semenjak balita. Ocah resmi bercerai dengan suaminya, Sukemi dikala usia Mustofa masih 25 hari.

Mustofa lahir prematur di Banten. Ocah melahirkan Mustofa dikala usia kandungannya sekitar 7 bulanan.

"Saat usianya masih 25 hari, saya cerai dengan suami. Saya bawa ke sini (Cirebon). Kemudian diasuh sama ibu saya," kata Ocah dikala berbincang dengan detikcom.

Mustofa, Difabel Peracik Miniatur PinisiMustofa menunjukkan miniatur pinisi hasil karyanya. (Foto: Sudirman Wamad/detikcom)
Beberapa tahun sehabis bercerai dengan Sukemi, Ocah menikah lagi untuk kedua kalinya. Kemudian, Ocah bertolak ke Arab Saudi untuk mencari nafkah. Ocah kerap bergonta-ganti majikan.

"Saya 18 tahun di Saudi. Anak saya kini tumbuh dewasa, memang kasih sayang tidak sanggup saya berikan. Saya hanya sanggup kasih uang. Karena saya pengen Mustofa jadi orang," katanya.

Alhamdulillah anak saya ada kemajuan. Semoga sanggup bermanfaat, sanggup menolong orang.Ocah, ibu kandung Mustofa

Air mata Ocah menetes. Ocah mengingat kenangan pahit memperjuangkan Mustofa di negeri orang. Selama 18 tahun menjadi TKI, Ocah mengaku sempat pulang ke Cirebon. Terakhir ia pulang pada 2018.

"Ya dua hingga empat tahun terus balik. Ini sudah satu tahun di sini," ucapnya.

"Alhamdulillah anak saya ada kemajuan. Semoga sanggup bermanfaat, sanggup menolong orang. Walau kondisinya tidak sama dengan orang lain," tutur Ocah.

Sumber detik.com

Belum ada Komentar untuk "Mustofa, Difabel Peracik Miniatur Pinisi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel